TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang penolakan terhadap penetapan upah minimum 2022 membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi rata-rata kenaikan upah minimum provinsi pada tahun depan hanya sekitar 1,09 persen.
Penolakan ditandai dengan gelombang unjuk rasa yang dimulai pada hari ini, 17 November 2021, di daerah. Demonstrasi dilakukan untuk menuntut kenaikan upah minimum yang lebih tinggi pada 2022.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan kenaikan upah tahun depan semestinya berkisar 7-10 persen. Tuntutan itu didasari survei yang dilakukan KSPI di 10 provinsi dengan menggunakan parameter kebutuhan hidup layak sesuai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
Menurut Said, buruh merujuk kepada beleid lama, lantaran Undang-undang Cipta Kerja hingga saat ini masih digugat di Mahkamah Konstitusi dan belum inkracht. "Karena itu KSPI dalam menghitung kenaikan upah menggunakan dalil hukum lama, UU 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal pengupahan dan PP Nomor 78 Tahun 2015 yang belum dicabut," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers, Selasa, 16 November 2021.
Kalau mau mengambil jalan tengah berlandaskan dua beleid itu, Said mengatakan kenaikan upah minimum seharusnya berada pada kisaran 5-7 persen. Karena itu, penetapan upah minimum yang berlandaskan Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tetang pengupahan itu dinilai lebih buruk dari era Orde Baru.
"Menaker lebih memberikan proteksi kepada kalangan pengusaha dan pemilik modal, dibandingkan memberi perlindungan kepada kaum pekerja atau buruh atau pegawai yang mengembalikan rezim upah murah jauh lebih buruk dari zaman Soeharto di era Orde Baru," ujar Said.
Proyeksi kenaikan rata-rata upah minimum provinsi sebelumnya disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Namun, kenaikan tersebut masih menunggu keputusan masing-masing gubernur, paling lambat 20 November 2021.